Minggu, 12 Januari 2014
PRICE LIST SUZUKI WILAYAH JABODETABEK 1 JANUARI 2014
CARRY PICK UP 1.5 FD 97,600,000
CARRY PICK UP 1.5 WD 97,600,000
REAL VAN DX 111,600,000
REAL VAN GX 119,600,000
MEGA CARRY FD 102,400,000
MEGA CARRY XTRA 104,600,000
APV BLIND VAN HIGH 108,700,000
APV GE - Face To Face 139,800,000
APV GE - PS 143,800,000
APV GL ARENA 154,000,000
APV GX ARENA 165,000,000
APV GX A/T ARENA 178,100,000
APV SGX ARENA 170,100,000
APV SGX A/T ARENA 183,400,000
APV LUXURY M/T R15 179,600,000
APV LUXURY A/T R15 193,200,000
APV LUXURY M/T R17 183,600,000
APV LUXURY A/T R17 197,200,000
ERTIGA GA 151,300,000
ERTIGA GL Double Blower 167,300,000
ERTIGA GX Double Blower 179,300,000
ERTIGA GL Double Blower A/T 178,300,000
ERTIGA GX Double Blower A/T 190,400,000
ERTIGA GX M/T Elegant Plus 196,700,000
ERTIGA GX A/T Elegant Plus 207,800,000
KARIMUN WAGON-R GA 78,700,000
KARIMUN WAGON-R GL 91,700,000
KARIMUN WAGON-R GX 101,700,000
NEW SPLASH M/T 143,300,000
NEW SPLASH A/T 154,500,000
NEW SWIFT GL M/T 167,500,000
NEW SWIFT GL A/T 178,600,000
NEW SWIFT GX M/T 176,000,000
NEW SWIFT GX A/T 187,200,000
NEW SWIFT SPORT M/T 301,300,000
NEW SWIFT SPORT A/T 316,400,000
NEW GRAND VITARA 2.4 M/T 332,500,000
NEW GRAND VITARA 2.4 A/T 343,600,000
- Untuk BBN 2014 wilayah Jawa Barat (Bogor, Cianjur, Sukabumi & Karawang),
ada penambahan harga untuk type :
1. Pick Up Mega Carry, Pick Up 1500 dan Minibus Futura sebesar Rp. 1.000.000,-
2. New Grand Vitara, New Splash & New Swift (termasuk Swift Sport) sebesar Rp. 2.000.000,-
3. Karimun Wagon-R sebesar Rp. 2.000.000,- (termasuk wilayah Depok & Bekasi).
- Untuk BBN Pick Up Box ditambah Rp. 3.000.000,- , maka harga jual OTR ditambahkan Rp. 3.000.000,-
- Harga di atas tidak mengikat, sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
- Untuk PU sudah termasuk biaya keur untuk daerah Jakarta.
TYPE KENDARAAN PRICELIST
JABOTABEK NIK 2014
Sabtu, 04 Januari 2014
Hoegeng Potret Polisi Jujur
1. Mimpi Ibu Merry (By Andy F Noya)
Suatu
hari, seorang teman lama menelepon saya. Dia menceritakan kisah yang
membuat hati saya tersentak lalu tergerak. Cerita tentang istri almarhum
mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Menurut teman saya,
ketika Pak Hoegeng masih hidup, dia pernah berjanji suatu hari kelak,
jika punya uang, dia akan mengajak istrinya ke Hawai, Amerika Serikat.
Mengapa Hawai? Karena mereka berdua begitu mencintai lagu-lagu “irama
lautan teduh”.
Hoegeng dan Merry Roeslani, sang istri, sejak muda memang sangat
menyukai musik hawaian. Kecintaan pada jenis musik tersebut mendorong
mereka menghidupkan kembali kelompok musik Hawaian Seniors yang dulu
pernah dibentuk Hoegeng semasa remaja. Mereka bahkan tampil sebulan
sekali di TVRI dan merupakan program yang sangat diminati pada tahun
1970-an.
Namun apa mau dikata. Sebelum janji itu bisa dipenuhi, sang jenderal
yang jujur dan sederhana itu lebih dulu dipanggil Tuhan. Hoegeng pergi
selama-lamanya tanpa sempat mengajak sang istri menginjak pasir Waikiki
Beach di Hawai yang terkenal itu. Hoegeng juga tak pernah sempat
mengajak Merry melihat penari hula-hula asli di pulau tersebut. Karena
itu, saya bisa membayangkan betapa sedih hati Ibu Merry.
Bagi Anda yang mungkin lupa, selama menjadi Kapolri, Pak Hoegeng
setiap akhir bulan tampil bermain musik bersama Hawaian Seniors
membawakan lagu-lagu irama lautan teduh. Duet Hoegeng dan Merry sanggup
menyihir penonton televisi pada tahun 1970-an.
Bahkan penampilannya di TVRI waktu itu terus berlanjut walau Pak
Hoegeng sudah pensiun. Hingga pada 1978, Hawaian Seniors “dicekal” tidak
boleh tampil di TVRI oleh penguasa Orde Baru. Tidak pernah jelas
mengapa. Alasan “resminya” karena acara tersebut dinilai tidak sesuai
dengan budaya Indonesia. Tetapi diduga pencekalan itu berkaitan dengan
keikutsertaan Pak Hoegeng menandatangani “Petisi 50” yang berisi
kritikan keras terhadap Pak Harto.
Pencekalan terjadi setelah Pak Hoegeng, Ibu Merry, dan Hawaian
Seniors sepuluh tahun tampil menghibur di TVRI. Waktu yang cukup lama.
Tetapi, percaya atau tidak, selama itu pula belum pernah sekalipun Ibu
Mery menginjakkan kakinya di pasir Waikiki Beach yang terkenal itu.
Padahal, sebagai Kapolri, Pak Hoegeng sudah pernah tiga kali bertugas ke
Amerika dan sempat mampir di Hawai.
Ibu Merry tidak pernah ikut karena Pak Hoegeng memiliki prinsip yang
sangat teguh: selama melakukan perjalanan dinas, istri dan anak-anak
tidak boleh ikut “numpang” fasilitas kantor “Dia tidak pernah
mengijinkan saya dan anak-anak memanfaatkan kesempatan menggunakan
fasilitas dinas,” ungkap Ibu Mery. “Sementara untuk beli tiket dengan
uang sendiri kami tidak mampu.”
Ironis memang. Sulit dipercaya ada orang sejujur Pak Hoegeng di
negeri ini. Tak heran jika kemudian muncul idiom: Di Indonesia hanya ada
tiga polisi yang jujur. Polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.
Begitu jujurnya sampai ketika meninggal tak banyak harta benda yang dia
tinggalkan untuk keluarganya. Bahkan setelah 32 tahun mengabdi di
kepolisian, uang pensiun yang diterima Pak Hoegeng cuma Rp 10 ribu.
Kawan saya menilai kisah tentang Ibu Mery tersebut layak diangkat di
Kick Andy. Agar banyak pihak terbuka matanya bahwa di negeri ini ada
sebuah ironi. Ironi kehidupan seorang pejabat yang jujur dan seorang
istri yang tabah.
Setelah mendengar kisah tentang Pak Hoegeng dan Ibu Merry, ada
“panggilan” yang begitu kuat di dalam dada. Panggilan untuk mewujudkan
mimpi Ibu Merry. Mimpi untuk bisa menginjakkan kaki di Pantai Waikiki.
Dalam usianya yang sudah di atas 80 tahun, mungkin ini permintaan
terakhir yang akan dikenangnya sebelum Tuhan memanggilnya.
Tapi, jujur saja, saya sempat ragu apakah bisa mewujudkan mimpi
tersebut. Terutama ketika mendengar cerita bahwa sudah dua kali Ibu
Merry ditolak ketika mengajukan visa ke kedutaan besar Amerika Serikat.
Tak ada penjelasan mengapa permohonannya ditolak. Sejak penolakan yang
kedua, Ibu Merry sudah mengubur dalam-dalam impiannya untuk bisa melihat
Hawai.
Saya mencoba menghubungi pihak kedutaan Amerika dan menjelaskan
keinginan saya untuk membantu Ibu Merry guna mendapatkan visa. Saya
berusaha menjelaskan siapa Pak Hoegeng dan kisah tentang mimpi Ibu Merry
untuk bisa menginjakkan kaki di pulau yang selama ini hanya dikenalnya
melalui gambar dan cerita-cerita orang.
Pihak kedutaan Amerika mengatakan tidak berjanji dapat mengabulkan
permintaan saya itu. Mereka menegaskan adanya peraturan keras dari
pemerintah Amerika yang tidak pandang bulu. Saya katakan kepada mereka
saya bisa memahami dan tidak akan memaksa. Saya hanya ingin menyenangkan
hati seorang wanita luar biasa yang selama hidupnya banyak mengalami
kepahitan hidup. Apa salahnya di ujung hidupnya, sekali ini, dia dapat
mereguk kebahagiaan. Apalagi ada kemungkinan ini adalah “last wish” atau
permintaan terakhirnya.
Akhirnya, kisah tentang Pak Hoegeng, Hawaian Senior, dan Ibu Merry
saya angkat di Kick Andy. Pada bagian akhir acara, kepada Ibu Merry saya
tanyakan tentang apa keinginannya yang belum terwujud. Dengan suara
pelan, sembari menghela nafasnya, Ibu Merry bercerita tentang
kerinduannya untuk bisa ke Hawai. Kerinduan yang sudah dikuburnya.
Dua kali visanya ditolak dan keuangan yang terbatas, membuatnya
pasrah. Dia juga harus mengubur impiannya untuk bertemu dengan
sahabatnya Mukiana, perempuan asal Hawai, yang sangat dirindukannya.
Sudah tiga puluh tahun lamanya mereka tidak berjumpa. Mukiana pernah
tinggal di Indonesia selama enam tahun dan bersama-sama menari dan
bernyanyi di acara Hawaian Seniors.
Di ujung acara Kick Andy saya menyambungkan hubungan telepon antara
Keala Mohikana dan Ibu Merry. Tampak Ibu Merry terkejut mendapat
sambungan langsung dengan sahabat yang dirindukannya itu. Ibu Merry lalu
menanyakan kapan Keala Mohikana bisa ke Jakarta. Tapi, pada pertengahan
pembicaraan, tiba-tiba Keana Mohikana muncul dari balik panggung. Ibu
Merry tertegun seakan tak percaya. Sahabatnya itu kini berada tepat di
depannya. Kedua wanita tua itu lalu saling berpelukan melepas rindu.
Belum sempat Ibu Merry meredakan rasa harunya, tiba-tiba Aditya,
putra Ibu Merry, mengeluarkan visa dari kantongnya. Tuhan maha besar.
Kedutaan Amerika kali ini meloloskan Ibu Merry dan juga Aditya untuk
masuk wilayah Amerika. Mereka berdua mendapat visa!
Selesai sampai di situ? Belum. Kepada Ibu Mery, saya serahkan sebuah
amplop. Isinya kemudian dibaca oleh Ibu Merry: tiket pulang pergi
Jakarta-Hawai-Jakarta. Maka sempurnalah perjuangan saya, teman saya, dan
Aditya untuk memberikan “hadiah” paling indah dalam hidup Ibu Merry,
yakni kesempatan pergi ke Hawai.
Sejumlah penonton di studio tak kuasa menahan haru. Mereka menitikan
air mata. Apalagi saat Aditya menunjukkan visa dan kemudian Ibu Merry
menerima tiket ke Hawai yang dipersembahkan Surya Paloh, pemilik Metro
TV.
Seusai rekaman Kick Andy, semalaman saya tidak bisa tidur. Hati
rasanya bahagia sekali. Semua upaya dan jerih payah terbayar sudah.
Kalau melihat ke belakang, rasanya semua itu tidak mungkin terjadi.
Mulai dari upaya teman saya mendatangkan Mukiana ke Jakarta, usaha untuk
mendapatkan visa yang sudah dua kali ditolak, sampai tiket ke Hawai
pemberian Surya Paloh, semua berjalan tanpa hambatan. Tuhan maha besar.
(Sumber: http://www.kickandy.com)
2. Jujurnya Pak Hoegeng ( by Agus Supriyatna)
KabarIndonesia - Adakah dijaman yang
tergesa tersedia jeda? Sedikit berhenti menginterupsi waktu. Mengajak
kembali ingatan menandai yang silam. Dari jejak dibelakang, kita
mengenali tempat berhenti, semacam ruang baca dan juga halte sejarah.
Berhenti sejenak, luangkan waktu membaca sejarah. Coba buka catatan
kusam kita. Buka lembaran yang jarang di eja. Sejarah dari orang-orang
yang ajeg sederhana. Bukan melihat monumen-monumen kaku yang terasa
congkak di sudut pusat kota.
Bukankah sejarah tidak melulu soal catatan peristiwa tapi juga berisi
kisah yang personal. Bahkan dari yang begitu pribadi, kisah lebih
terasa karib untuk dibaca dan di renungkan. Mungkin semacam contoh.
Mungkin juga sebentuk bahan pelajaran. Ini penting untuk sekarang ini.
Ini penting untuk kita, terutama pejabat negara. Ini penting untuk
Indonesia.
Kisah Jenderal Hoegeng Imam Santoso, almarhum, salah satunya. Kenapa
Hoegeng? Mungkin karena kita butuh sesuatu yang pernah tercatat ajeg.
Ini penting untuk hari ini ditengah hirukpikuk ketidakpastian sikap.
Jenderal ringkih kelahiran Pekalongan, , Jawa Tengah pada 14 Oktober
1921, pantas di ulang tanpa lelah sebagai sebuah contoh. Nama Hoegeng
itu sendiri, sebenarnya cuma nama sebutan fisik.
Waktu kecil Pak Hoegeng, dipanggil bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi bugeng,
akhirnya berubah jadi hugeng. Nama aselinya sendiri cuma Imam Santoso
yang dipilihkan ayahnya, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi kepala
kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan Ating Natadikusumah, kepala
polisi, dan Soeprapto, ketua pengadilan.
Mereka menjadi tiga sekawan penegak hukum yang jujur, professional.
Ketiganya inspirasi bagi Hoegeng kecil. Bahkan karena kagum pada
Ating-yang gagah, suka menolong orang, dan banyak teman, Hoegeng kecil
ingin jadi polisi.
Memang sampai tua, Pak Hoegeng tidak bugel alias gemuk. Pak
Hoegeng tidak bertubuh tambun subur berglambir lemak. Tubuhnya, bahkan
lebih terlihat ringkih ketimbang tegap, apalagi tambun. Tapi jangan
tanya soal ketegasan. Pak Hoegeng memegang itu sebagai prinsip hidup.
Lewat tangannya, keadilan terasa lebih bisa diraba.
Jabatan bagi Hoegeng bukan soal tuah untuk diri sendiri.
Bukan pula soal pamrih berlebih. Jabatan bagi pak Hoegeng adalah soal
kadar pengabdian pada khalayak. Dia tahu itu tidaklah lempang. Kekuasaan
pastinya juga berbicara syahwat. Sekali tersingkap, mungkin yang dekat
akan terjerat. Dia tahu itu, oleh karena itu Pak Hoegeng yang sederhana
menjaga jarak.
Kisah tentang toko kembang
Kisah tentang toko kembang
Ada sebuah cerita soal itu. Waktu itu mendiang Presiden Soekarno
menunjuknya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum
pelantikannya, Pak Hoegeng meminta istri, Ibu Merry agar menutup segera
toko kembang miliknya yang terletak di sebuah sudut Jalan Cikini.
Padahal toko kembang itu, salahsatu penopang tambahan kebutuhan
hidupnya. Sungguh kontras memang. Jabatan bagi Pak Hoegeng bukan soal
lahan bancakan. Jabatan hanya sebagai lahan pengabdian dan ibadah, titik!
Kembali ke soal toko kembang. Waktu itu sang Istri sedikit protes dan
bertanya, “Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan Kepala Jawatan
Imigrasi?” Pak Hoegeng menjawab kalem tapi tegas, “Nanti semua yang
berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kita dan itu
tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”
Jawaban itu, sungguh sangat mengharukan. Sebuah sikap tegas yang
dibarengi sikap sederhana. Padahal kalau berkenan, tinggal membalik
tangan Pak Hoegeng kaya dari jabatan. Pelajaran yang begitu berharga
tentang sikap anti nepotisme dari petinggi polisi yang dilahirkan di
kota Batik, Pekalongan. Yang menarik sang istri kemudian menutup toko
itu. Dia mengerti sikap tegas suaminya. Dia paham Pak Hoegeng sangat
keras menolak aji mumpung pangkat dan jabatan. Mungkin juga, karena itu
Ibu Merry jatuh cinta. Mungkin..
Polisi yang tegak berprinsip
Masih dari kisah jabatan Kepala Jawatan Imigrasi. Karena jabatan itu,
Pak Hoegeng mendapat jatah mobil dinas keluaran baru. Tapi anehnya, dia
masih bersikukuh dengan mobil dinas lawas, jatahnya saat masih di
bertugas di kepolisian. Dia berkilah, mobil jip lawas dari Kepolisian
juga milik negara. Dirinya merasa cukup dengan itu selama masih layak
dipergunakan dan tidak sertamerta karena jabatan, terus manja dan
rakus. Soal aji mumpung jauh dari sifatnya. Apalagi mengail di air
keruh. Pak Hoegeng jauh dari laku seperti itu.
Sebagai polisi, Pak Hoegeng adalah sosok tegas membaja. Polisi
dimatanya penegak hukum, titik! Tidak ada kompromi. Tidak ada bagi-bagi
hasil dibawah tangan. Apalagi soal salam tempel amplop berisi duit jual
kasus. Karena sikap seperti itulah dia terpental dari jabatan elit
kepolisian Indonesia yang di pegangnya antara 1968-1971.
Kala itu, Pak Hoegeng mengungkap kasus penyelundupan mobil kelas
kakap yang dilakukan oleh Robby Cahyadi. Si pelaku di sebut punya kaitan
dengan kalangan istana. Tapi betapa kecewanya, saat dia akan melaporkan
itu ke Presiden, sang buruan sedang asyik bercengkrama di Cendana.
Ternyata benar, kekuasaan kongkalikong dengan keculasan. Jelas karena
itu Sang Jenderal murka. Sejak saat itu, pupus sudah kepercayaan kepada
kekuasaan. Pun pada pucuk pimpinan negara bernama Soeharto.
Karena itu pula, Pak Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri sebelum
masa jabatannya habis. Tepatnya 1970, Soeharto mencopot jabatan itu
dari pundak Pak Hoegeng dengan alasan regenerasi. Tapi aneh,
penggantinya, Muhammad Hassan. Justru lebih tua darinya. Artinya dia
menyadari, kekuasaan sudsah tidak suka sepak terjang membenahi korps
kepolisian. Sebagai penghibur, Pak Hoegeng ditawari jabatan sebagi duta
besar di Belgia. Tapi Pak Hoegeng menampik.
Dia menukas tegas soal penolakan tawaran tersebut, “Saya tidak punya keterampilan basa-basi seorang duta besar!”. Mungkin penolakan tersebut sebentuk resistensi yang tumbuh menguat dalam dirinya. Karena selepas itu, dia mulai mengambil posisi bersebrangan dengan kekuasaan. Dia mencoba memberi batas semakin tegas dengan wajah kekuasaan. Bersama Jenderal (Purn) Nasution dan Proklamator Bung Hatta, dia aktif di Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Sebuah lembaga yang mencoba memuat suara lain diluar tubuh negara tentang bagaimana berkonstitusi dengan suara hati nurani.
Dia menukas tegas soal penolakan tawaran tersebut, “Saya tidak punya keterampilan basa-basi seorang duta besar!”. Mungkin penolakan tersebut sebentuk resistensi yang tumbuh menguat dalam dirinya. Karena selepas itu, dia mulai mengambil posisi bersebrangan dengan kekuasaan. Dia mencoba memberi batas semakin tegas dengan wajah kekuasaan. Bersama Jenderal (Purn) Nasution dan Proklamator Bung Hatta, dia aktif di Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Sebuah lembaga yang mencoba memuat suara lain diluar tubuh negara tentang bagaimana berkonstitusi dengan suara hati nurani.
Sepertinya kejengkelan penguasa pada Pak Hoegeng yang tidak kunjung
manut tidak juga hilang. Saking jengkelnya, ada cerita soal ini. selepas
pensiun Pak Hoegeng menyalurkan hobi menyanyi di TVRI lewat kelompok
Hawaian Seniors. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kemudian muncul
larangan tampil bagi Pak Hoegeng di layar televisi plat merah
tersebut. Pastinya Soeharto sudah sangat jengkel, maka setiap ruang
rambah Pak Hoegeng coba di sumbatnya. Pun untuk sekedar tarik
suara.Tidak berhenti karena di sumbat dilayar kaca. Pak Hoegeng menempuh
jalur lain.
Mulai dari Mei 1980 Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok petisi lima puluh. Sebuah kelompok yang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk penyelenggaraan kekuasaan negara saat itu. Dalam kelompok tersebut memang bergabung beberapa pensiunan pejabat polisi dan militer, disamping tokoh-tokoh sipil lainnya. Seperti Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dan HR. Darsono, Mantan Pangdam Siliwangi.
Mulai dari Mei 1980 Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok petisi lima puluh. Sebuah kelompok yang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk penyelenggaraan kekuasaan negara saat itu. Dalam kelompok tersebut memang bergabung beberapa pensiunan pejabat polisi dan militer, disamping tokoh-tokoh sipil lainnya. Seperti Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dan HR. Darsono, Mantan Pangdam Siliwangi.
Keterlibatan di kelompok Petisi 50, berbuah cekal bagi Pak Hoegeng.
Itu sepertinya biasa bagi Mantan Kapolri dan penganjur pertama
pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia tersebut.
Jenderal polisi yang dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), bahkan sering turun ke lapangan. Syahdan, Pak Hoegeng, lulusan
pertama Akademi Kepolisian (1952), memimpin langsung operasi balapan
liar di sekitar jalan Taman Soerapati, Jakarta, sekitar tahun 70an.
Kepada anak buahnya dia berkata tegas, “Tangkap saja anak-anak muda yang
nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi
sendiri!”.
Kisah lainnya masih tentang ketegasan tanpa tedeng aling-aling. Ceritanya di kota Medan, seorang pejabat baru kepolisian bikin geger. Seorang Kepala Reskrim baru pindahan dari Jawa Timur, menolak keras hadiah dari para cukong. Padahal nilainya menggiurkan. Perabotan luks dikirim ke kediaman Reskrim baru tersebut. Kota itu memang marak dengan kisah para cukong penyelundupan yang makmur juga tebaran lapak judi dimana-mana. Kiriman sogok itulah yang dimaksudkan untuk membungkam aparat. Tapi kali ini meleset, si aparat baru meradang karena di sogok.
Kisah lainnya masih tentang ketegasan tanpa tedeng aling-aling. Ceritanya di kota Medan, seorang pejabat baru kepolisian bikin geger. Seorang Kepala Reskrim baru pindahan dari Jawa Timur, menolak keras hadiah dari para cukong. Padahal nilainya menggiurkan. Perabotan luks dikirim ke kediaman Reskrim baru tersebut. Kota itu memang marak dengan kisah para cukong penyelundupan yang makmur juga tebaran lapak judi dimana-mana. Kiriman sogok itulah yang dimaksudkan untuk membungkam aparat. Tapi kali ini meleset, si aparat baru meradang karena di sogok.
Kiriman itu bahkan dibuangnya di pinggir jalan. Kita pada akhirnya
mencatat, siapa sosok nekad tersebut. Namanya Hoegeng Imam Santoso.
Kelak nama itu kita kenang sebagai tonggak kejujuran yang sederhana.
Berbanggalah Kepolisian Republik ini, mempunyai tokoh komplet seperti
Pak Hoegeng.
Bahkan saking sederhananya. Lepas dari Medan, Pak Hoegeng kembali ke
Jakarta. Karena belum dapat rumah tinggal, dia menumpang di garasi
mertuanya di daerah Menteng. Padahal dia bekas Kepala Reskrim. Teramat
langka memang sikap hidup seperti Pak Hoegeng. Beragam tugas pernah
diemban, bapak yang dikarunia tiga anak tersebut diluar dari tugasnya
sebagai polisi. Mulai dari Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965), Menteri
Iuran Negara (1966-1967) dan Deputi Operasi Menpangak (1967-1968).
Jakarta, 14 Juli 2004
Tengah malam lewat setengah jam, Pak Hoegeng menghembus nafas
terakhir. Setelah dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati karena
Stroke, penyumbatan pembuluh darah dan pendarahan bagian lambung. Tuhan
berkehendak lain. Kabar terpetik, Sang Jenderal pun mangkat di RSCM,
Jakarta. Simbol keteladanan dan kejujuran Polri tersebut meninggalkan
tanah air yang teramat dicintainya.
Kita menundukan kepala. Merunduk ke tanah sembari ingatan terus mencatat. Yang datang pastinya dibatasi kepergian. Pun soal memiliki pasti ada interupsi soal kehilangan. Tengah malam lewat, tepatnya pukul 00.30 WIB, Jenderal sederhana itu pergi. Bahkan untuk pemakamannya, Pak Hoegeng mewanti-wanti, kelak kalau meninggalkan, dirinya tidak ingin dikebumikan di Kalibata, makam para pahlawan nasional.
Kita menundukan kepala. Merunduk ke tanah sembari ingatan terus mencatat. Yang datang pastinya dibatasi kepergian. Pun soal memiliki pasti ada interupsi soal kehilangan. Tengah malam lewat, tepatnya pukul 00.30 WIB, Jenderal sederhana itu pergi. Bahkan untuk pemakamannya, Pak Hoegeng mewanti-wanti, kelak kalau meninggalkan, dirinya tidak ingin dikebumikan di Kalibata, makam para pahlawan nasional.
Dirinya ingin dimakamkan di pemakaman biasa. Pada akhirnya, TPU
Giritama, Desa Tonjong, Bojong Gede, Bogor, dipilih sebagai tempat
peristirahatannya terakhir. Sekitar pukul 14.00 WIB, jenazah Jenderal
ringkih menyatu dengan tanah. Sudah habis tugas kesejarahannya. Yang
tertinggal mungkin cuma jejak. Mudahan-mudahan ingatan bangsa tidak
dikalahkan lupa, bahwa bangsa ini pernah memiliki polisi yang tahu arti
kejujuran. Selamat jalan Pak Hoegeng… (Sumber : www.kabarindonesia.com)
Langganan:
Postingan (Atom)